Cukup

Di pagi pertama menginjak usia 26, banyak yang berputar-putar di kepala.

Pelan-pelan berusaha kutata, kutulis di atas buku cerita.

Pertama, aku bersyukur atas kehidupan yang aku jalani.

Kesempatan bertubi-tubi yang sering terlupa karena fokus melihat yang tidak dipunya.

Rasa syukur yang entah mengapa belakangan terasa berat, padahal jelas-jelas hidupku dibanjiri nikmat.

Kedua, memulai bahagia pada diri sendiri.

Menggantungkan kebahagiaan pada laku orang hanya jadi pupuk rasa kecewa.

Seandainya dia begini, pasti aku begitu.

Seandainya seandainya pada hal yang tidak ada pada kendali sendiri.

Ternyata hati lebih lega, jika bahagia dicipta sendiri.

Melakukan hal-hal yang menyenangkan.

Menerima rasa sayang dari mereka yang tulus memberikan.

Ah lega sekali rasanya, jika bahagia tidak rumit definisinya.

Ketiga, berdamai dengan kesalahan diri dan bertekad memulai lebih baik lagi.

Pelan-pelan.

Sedikit demi sedikit.

Kemarin sudah berlalu, esok juga belum sampai, mengapa tidak menikmati hari ini?

Melakukan semua yg bisa dilakukan saat ini?

Ketimbang mengkhawatirkan yang belum terjadi.

Atau menyesali yang sudah tidak dapat diulang kembali.

Hari akan terus berjalan, usiamu tidak akan bergerak mundur.

Mari kita nikmati hari ini dan lakukan yang sebaik-baiknya.

Mari melakukan yang ada dalam kendali, kurangi mengharapkan manusia lainnya.

Merasa cukup dengan yang dipunya, tanpa perlu berharap yang mengada-ada.

Esok akan datang, tanpa bertanya kesiapanmu.

Kita jalani sebaik mungkin tiap laku dari waktu ke waktu.

Gambar

Mengamati gambarmu menjadi kegiatan baru kesukaanku

Melihat potret tawamu bersama kawan-kawan

Kau selalu terlihat bahagia pada layar dua dimensi

Kau selalu terlihat ramah dan menyenangkan

Dirimu di dunia nyata lebih rumit

Lebih sering terlihat tanpa ekspresi

Lebih sering berujar tanpa raut menyenangkan

Meski begitu, aku lebih memilih kerumitanmu yang nyata

Dibanding hanya mengagumi bahagiamu yang nampak terlalu sederhana

Satu Persatu

Jika berat membayangkan bagaimana bisa sampai ke garis akhir

Pusing kepala memikirkan kapan ada titik terang

Keputusan membingungkan karena khawatir langkah untuk sampai ke tujuan

Mungkin kita perlu sedikit melambat

Perlahan kita jalani setapak demi setapak

Ujungnya belum juga terlihat

Terang belum juga nampak

Harap sudah mulai kehabisan nyala

Mungkin kita perlu lebih banyak berdoa

Menggantungkan asa pada semesta

Karena jumawa sekali menggantungkan pada diri sendiri

Berat dipikul semua beban masa lalu, kini hingga nanti

Mari kita perhatikan kini

Kita nikmati satu detik demi satu detik lagi

Kita lakukan yang kita bisa, satu laku satu laju

Mari kita menyerahkan besok yang tidak pasti pada Yang Maha Tinggi

Barangkali resah akan berkurang bisingnya

Barangkali banyak tanya yang tak perlu dijawab segera

Barangkali hati akan terasa lebih lapang

Barangkali tugas kita memang hanya perlu melangkah

Satu kali lagi

Halo!

Halo!

Selamat datang untuk kamu yang baru saja menemukan ruangku.

Salam kenal, panggil saja dengan sebutan Anna, celoteh, celotehanna, atau WordPress. Suka suka kau saja.

Terima kasih sudah bersedia mampir.

Maaf aku tidak punya jamuan yang mewah untukmu.

Tapi duduklah sejenak di sini.

Sedikit demi sedikit sudah kurapikan.

Belum persis seperti arahan Marie Kondo, tapi lumayan lah untuk duduk-duduk santai.

Kau boleh menengok isi ruanganku.

Di sini refleksi isi kepalaku.

Kebanyakan berantakan dan melompat kesana-kemari, tetapi semoga kamu mengerti.

Kalaupun tidak mengerti juga tidak apa-apa.

Tengok saja mana yang menarik dan menyentuh relungmu.

Jangan-jangan ada yang cocok, sehingga lain kali kamu mau bertamu kembali.

Kalaupun tidak ada yang cocok juga tidak apa-apa.

Kita tetap bisa saling bertamu sambil bingung dan garuk-garuk kepala melihat isi ruangan yang entah maksudnya apa.

Ruangku selalu ada di sini, tidak berpindah.

Jika kapan-kapan rindu atau sekadar penasaran dengan isi kepalaku, silakan datang lagi.

Mungkin lain kali aku bisa menjamu mu lebih baik.

Selamat berkeliling!

Marah

Definisi marahnya bukan tentang berteriak hingga seluruh rasa tumpah ruah

Berpanjang lebar kata hingga habis semua yang dirasa

Bukan tentang mengunggah kata-kata untuk menyakiti lainnya di dunia yang maya

Membuat liar penafsiran yang bisa jatuh pada siapa saja

Baginya marah adalah emosi negatif

Hingga kehadirannya ia pendam dalam-dalam

Ia nikmati sendirian

Dalam diamnya yang kebingungan

Dalam sesaknya dada hingga nafas tak beraturan

Rasanya ingin meledak

Tapi bukan ledakan yang suaranya terdengar dari Hiroshima hingga Nagasaki

Ia justru mencair bagai es di kutub utara yang ditempa sinar matahari

Air itu mengalir lewat sudut matanya tidak terbendung lagi

Teriakannya berupa sesegukkan yang ia tutup menggunakan bantal di sudut kamar

Takut takut jika sampai ada yang melihat

Seolah tangisan adalah aib yang ia tutup rapat-rapat

Definisi marahnya bukan tentang berteriak hingga seluruh rasa tumpah ruah

Kemudian berbondong tulisan merebak mengatakan, bagaimana mungkin orang lain bisa tau rasamu jika sendirian kau simpan

Alih-alih taubat, dia justru semakin memendam, baginya bahkan dengan menyatakan pun tidak menjamin orang lain dapat mengerti

Ia terlalu takut kecewa pada tanggapan manusia lainnya

Ia terlalu takut rasanya berlebihan, padahal semua orang anggap sederhana

Ia terlalu takut semua ini sebenarnya adalah salahnya, bukan pada sakit yang diakibatkan orang lain padanya

Ia sibuk menjadi hakim, padahal tidak setiap urusan harus dibawa ke pengadilan

Definisi marahnya bukan tentang berteriak hingga seluruh rasa tumpah ruah

Sampai hari ini matanya masih basah

Menangis tanpa suara mendengar kata-kata pujangga yang bernada

Mungkin itulah definisi marah baginya

Ledakan sunyi dan lelehan yang akhirnya membeku kembali

 

Adakah puan?

Selamat hari perempuan, kamu yang berpakaian terbuka.

Eh gimana sih, perempuan kok pakaiannya terbuka, mau saja diobjektifikasi laki-laki.

Selamat hari perempuan, kamu yang berpakaian tertutup.

Eh apa pula, mau-maunya disuruh menutup segala. Diopresi aturan mengada-ada

Selamat hari perempuan, kamu perempuan pekerja.

Dasar ibu dan istri yang tidak memprioritaskan keluarga, kok malah mengurusi urusan tak seberapa.

Selamat hari perempuan, kamu perempuan rumah tangga.

Mau-maunya tidak berkarya, punya potensi dan sia-sia.

Huh, selamat hari perempuan, puan.

Meskipun dunia berisik menjejalkan standarnya padamu. Bertahanlah, jangan kehilangan suaramu.

Untukmu puan.

Meskipun setiap pilihanmu selalu dipertanyakan banyak orang, jangan ragu pada kemampuan dan lebih dari itu keberadaan.

Kamu berhak memilih dan bersuara, menanggung konsekuensi dan bertanggung jawab.

Kamu. Ada.

Makan Sehat

UC1000Tiba-tiba tadi pingin banget minum manis

Minum boba-bobaan, atau thai tea, atau sekadar kopi susu dengan salted caramel

Biasanya sih bakal langsung beli

Tapi kali ini nahan diri, takut malah sakit tenggorokan dan drop

Ditambah hidung yang udah mulai meler dan tenggorokan yang sempet sakit

Bener-bener ya, epidemi ini membuat aku pribadi “terpaksa” punya kontrol diri lebih

Mengontrol diri untuk gak keluar rumah selagi bisa

Mengontrol diri buat makan makanan sehat

Buah-buahan, sayur-sayuran, air hangat, madu dan beragam suplemen lainnya

Mengontrol diri buat gak begadang dan bangun pagi

Berjemur dan olahraga yang terpapar sinar matahari

Karena menjaga kesehatan diri lebih dari sekadar melindungi diri sendiri

Tapi juga orang sekitar

Yang kita sayang, maupun yang tidak kita kenal

Mau makan bandel, takut sakit

Nanti daya tahan tubuh menurun, virus lebih mudah menjangkit

Kenapa ya? Lebih aktif bergerak karena ancaman

Dulu-dulu mau hidup sehat ada aja alasan

Karena iming-imingnya indah

Sekalinya diiming-imingi buruk, malah lebih kuat menahan diri

Ckck

Foto hanya pemanis

Karena belakangan bosan sekali minum ini

Tapi minuman manis, enak, sekaligus bisa jadi vitamin ya cuma ini (no sponsored)

Jadi ya kita nikmati saja

Selain berdoa yang tidak pernah putus

Ikhtiar juga harus jalan terus

Lekas pergi ya pandemi

Aku kangen bisa minum manis dan cuma takut batuk atau radang

Bukan karena takut imun turun dan kamu datang 😦

Social Distance

Kemarin-kemarin hanya bisa berempati melihat berita di televisi

Meningkatnya jumlah korban di Kota Wuhan

Satu per satu tumbang, tenaga medis kewalahan

Tidak menyangka rasa empati itu kini harus dituju pada diri sendiri

Sejak beberapa hari lalu pemerintah mengumumkan lonjakan jumlah korban lebih dari 100%

Kemudian pemerintah daerah mulai mengeluarkan kebijakan untuk sekolah-sekolah diliburkan

Universitas menjaga diri para sivitas dengan meliburkan segala aktivitas

Supermarket penuh sesak, banyak orang terlihat panik membeli pasokan makanan seakan kota akan berhenti beroperasi

Masker menjadi barang langka

Hand sanitizer tidak ada di mana-mana

Setiap orang mendadak menjadi sangat peduli sanitasi

Ketakutan karena tidak mengerti akan lawan yang dihadapi

WHO, organisasi yang dipercaya negara-negara dunia untuk mengatur soal kesehatan juga sudah memberi putusan bahwa corona ini pandemi global

Banyak negara memutuskan untuk lock down

Sementara, di negara ini masih berupa himbauan untuk melakukan social distance, yakni mengurangi aktivitas bertemu dengan orang banyak dan memilih untuk diam di rumah

Perusahaan mulai memberlakukan sistem work from home

Imbasnya, bukan hanya fisik tetapi juga ekonomi

Aku berpikir betapa banyak privilese yang ku miliki

Masih bisa memilih untuk berdiam di rumah, dan masih punya tabungan untuk makan

Di antara banyak orang di luar sana yang harus keluar demi mencari makan

Mereka tidak hanya harus menjaga kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan dana

Bagi pedagang, jika tidak ada pembeli, besok mereka makan apa

Kemarin aku sempat baca sekilas bahwa pandemi ini lebih banyak memengaruhi dunia secara ekonomi ketimbang fisik

Bayangkan saja. Beberapa negara sampai menutup gerbang masuk dan keluar.

Berapa banyak uang yang akhirnya tidak berputar di dalam negeri

Mereka bilang, tetap tenang, jangan panik

Aku bilang, iya tenang saja

Tapi gejolak fear itu tetap ada

Wong yang kita hadapi ini tidak terlihat dan bahkan kadang tidak menunjukkan gejala

Memikirkan apakah aku sebenarnya sudah terjangkit

Atau malah sudah menyebarkannya ke orang lain tanpa kusadari

Jadilah aku di sini

Menghitung hari berdiam diri di kosan

Keluar hanya untuk beli makanan

Atau pesan saja ke abang ojek online

Ohya apresiasi sebesar-besarnya buat abang-abang dan empok-empok ojek online yang masih harus bekerja

Jasamu sangat berarti bagi kami-kami yang memilih berdiam diri

Hari ini aku memutuskan untuk menjaga “jarak sosial” pada kenyataan juga pada jejaring

Biar berisik cukup di kepala

Dan kepanikan cukup dilihat di depan mata

Tidak perlu menambah-nambah dengan ocehan orang di social media

Sementara saja

Sampai semua kembali baik-baik saja

Semoga semua segera baik-baik saja

Jaga dirimu, aku mau kita tetap baik-baik saja

Tepat waktu

Sore itu, aku baru sampai di Jogja

Seperti biasa dijemput oleh mas-mas ojek online

Masnya mengangguk, aku juga

Tampak raut ramah khas warga Jogja

Aku menaiki motor beat itu

Tidak banyak bicara, lebih banyak diam

Menghitung-hitung apakah akan sampai pada agenda-agenda berikutnya

Setelah kereta api yang kutumpangi terlambat sampai karena gangguan lokomotif

“Mbak…

Tegur mas ojol berusaha memulai pembicaraan

“Iya mas?” jawabku agak terlambat, maklum pendengaranku akan berkurang sampai dengan 50% ketika sedang dibonceng di sepeda motor.

“Dari mana Mbak?”

“Dari Jakarta mas hehe,”

“Oh, kuliah?”

“Iya nih mas hehe,”

jawabku singkat-singkat

Tidak bertanya balik

“Capek ya Mbak?”

Tanya mas ojol.

“Hah gimana mas?”

Jujur aku bingung bagaimana harus memberikan tanggapan terhadap pertanyaan tersebut.

Terlintas jawaban-jawaban filosofis berputar di kepala.

Eh tapi untuk apa, emang sejauh itu maksud masnya.

“Iya mbak, mukanya keliatan capek aja.”

Kaca spion motor beat putih ini sempurna menghadap jalanan, tidak ada celah untukku melihat ‘muka capek’ yang ditujukan oleh mas ojol.

“Hehe iya nih mas. Tadi keretanya harusnya sampai sini jam 3, tapi karena ada gangguan yaa jadinya telat sejam nih mas,” akhirnya aku menjawab dengan cukup panjang.

Mungkin bukan capek, lebih ke was-was karena khawatir tidak keburu ke agenda berikutnya.

“Kalo mbak sampai sini jam 3, tadi lagi hujan deras2nya mbak,”

Deg.

Jawaban mas ojol terasa menohok sekali

Seandainya pun aku sampai sini sesuai jadwal, aku juga pasti bingung harus naik apa

Terlebih di Lempuyangan, kamu gak akan bisa order ojek online di pintu keluar

Kamu harus berjalan cukup jauh sampai melewati zona merah

Kalau posisinya hujan deras, sudah pasti aku tidak akan bisa naik ojol

Antara aku akan menunggu sampai hujan reda

Atau terpaksa naik ojek ataupun taksi stasiun yang harganya sudah pasti berkali-kali lipat dari biaya angkutan online

Sederhana sih

Tapi seakan lagi ditegur sama semesta

Kalau banyak hal-hal yang berada di luar kuasa

Gak bisa semua berjalan seperti seharusnya versi kita

Dan ketika itu terjadi, ngedumel sekalipun ga ada guna

Legowo adalah satu-satunya cara supaya awet muda, alias gak punya ‘muka capek’ kalo kata mas ojol.

Setelah ucapan itu, aku tersadar bahwa sesuatu terjadi karena alasan tertentu

Entah baik ataupun pahit rasanya

Semua sudah ada jalannya, membentuk garis kehidupan

Tiap titiknya

Kalau nyatanya saat ini banyak kereta-kereta lainnya yang belum juga sampai tujuan

Bisa jadi, destinasi yang dituju sedang hujan

Sabar pada gilirannya

Ikhlas apapun akhirnya

Pecundang

Aku ingin menang tapi kalah lebih setia

Aku ingin menang tapi makin menjauh ia

Aku ingin menang tapi apa daya, aku rata-rata

Aku ingin menang tapi tiada beda, aku satu di antara jutaan yang serupa

Aku lupa rasanya menang karena kalah sudah lama jadi kawan

Aku takut mengharap menang karena menjadi kalah minim rasa kecewa

Aku enggan kembali menginginkan menang karena yang ku inginkan nyatanya tak pernah datang