Ketika menulis ini, resmi 37 hari sudah aku menjalani kehidupan baru sebagai istri. Suamiku sedang tertidur lelap di sampingku. Karenanya aku punya waktu luang untuk memandangi wajahnya sekaligus menuangkan rasaku dalam tulisan.
Rasanya masih tidak menyangka… Kekhawatiran yang dulu datang tiada henti. Kapan aku menikah? Dengan siapa aku akan menikah nanti? Dan seterus seterusnya. 1 Agustus lalu, terjawab sudah.
Satu kalimat tanpa jeda napas sudah diucap dari mulut lelaki yang kini kusebut suami. Dia yang menggenggam tangan bapak dengan sangat erat, menerima beratnya tanggung jawab yang dipikul bapakku atasku ke pundaknya. Detik itu semua terasa tidak nyata. Aku terus menggenggam erat tangan mamak karena beragam rasa menghujani dalam satu waktu. Ada takut, ada bahagia, ada khawatir, ada rasa lega. Semua hadir berbarengan.
Sesaat setelahnya aku menggenggam tangannya. Halal sudah apa yang selama ini kami hindari. Kutatap matanya sambil menahan tawa. Rasanya terlalu lucu melihat dia yang dulu canggung setiap kusapa, hari itu resmi menjadi pasangan hidupku. Aku terlalu bahagia sampai menutupi segala gengsi. Kugandeng tangannya sejak keluar dari ruangan KUA. Bibirku tidak berhenti tersenyum. Aku bahagia, Allah takdirkan dia yang menjadi teman hidupku.
Jika kutarik cerita sedikit ke belakang. Tentu, wajahnya adalah wajah yg familiar. Kami bertemu di ruangan kelas 7 tahun lalu. Ditakdirkan mengurus projek kelas bersamaan, padahal kami berasal dari jurusan yang berbeda. Aku komunikasi, dia sistem informasi. Love at first sight, menurut pengakuannya. Meski tidak berlaku sama dari sudut pandangku.
Satu dua pesannya yang ditujukan padaku dulu, selalu kuanggap tidak lebih dari iseng. Mungkin modus saja, pikirku. Uniknya, modusnya berjalan terlalu konsisten. Timbul tenggelam yang hadir dalam jangka waktu yang lama. Sesekali mampir untuk menanyakan kabar, kemudian hilang berbulan-bulan lamanya. Hingga tahun lalu, dia mampir untuk menawarkan diri menetap selamanya. Dengan tangan terbuka ku terima, dan setelahnya Ia bukakan setiap jalannya.
“Aku punya harapan untuk kita, yang masih kecil di mata semua. Walau takut kadang menyebalkan, tapi sepanjang hidup kan ku habiskan.” Begitu kata Nadin Amizah di lagu Taruh.
Meski masih pengantin baru yang katanya wajar saja berbunga-bunga. Aku punya harapan untuk kita. Percikan-percikan kecil adalah hal yang wajar muncul. Tapi setidaknya, kami percaya bahwa pelukan bisa meredakan. Banyak tingkahnya yang menyebalkan dan bisa ku keluhkan, tapi beribu salahku lebih sering ia hiraukan. Rasanya aku belajar banyak darinya, tanpa perlu ia berkata-kata.
Hari-hariku berubah karenanya. Rutinitasku kini jauh berbeda. Aku yg dulu lebih memilih menggabung sarapan dan makan siang. Kini terbangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan untuknya. Aku yg lebih suka membeli makanan di luar, kini memikirkan menu-menu andalan untuk jd asupannya. Hari-hariku bukan lagi tentang diriku saja. Kini ada lelaki yang aku hormati dan layani sepenuh hati. Aku yakin, rutinitasnya juga banyak berubah. Termasuk rutinitas memakan masakan enak buatan ibunya, yang harus bergeser menjadi memakan (apapun rasanya) yang dibuat istrinya.
Aku yakin akan banyak kejutan lainnya menanti untuk kami hadapi. Tidak selalu menggebu, itu pasti. Tapi kami berusaha sepanjang hidup untuk terus menerima. Entah apa emosinya nanti, setidaknya kini aku punya pendamping tuk jadi rekan berbagi.
Selamat 37 hari pernikahan, suamiku. Terima kasih sudah sepakat untuk terus bertumbuh sepanjang waktu.
Salam dari istrimu yang belum bisa tidur malam ini❤️